Selasa, 28 Desember 2010

Post- Nasionalisme Dalam Piala AFF

Rohmanur Aziz

Suasana euphoria sepak bola tanah air tidak memudar oleh kekalahan timnas pada final piala AFF Leg ke-1 yang digelar pada 26 Desember 2010 di Stadion Bukit Jalil Malaysia, pada Leg ke-2 masyarakat Indonesia berharap dapat dimenangkan oleh Timnas dan situasi ini akan semakin membakar semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Hal ini diawali oleh gelora beberapa suporter club-club sepakbola daerah seperti Viking untuk Persib, Bonekmania untuk Persebaya dan Jackmania untuk Persija. Kekuatan ideologis sepakbola primordial tersebut ternyata menjadi bahan baku kristal ideologi sepakbola menjadi wajah baru nasionalisme atau post-nasionalisme.
Diperlukan tafsir yang tepat untuk membaca trend post-nasionalisme saat ini. Tentunya kondisi psikologis saat ini bukan kebetulan tetapi terkait dengan sejarah atau kondisi masa lalu yang menciptakan kondisi saat ini. Dilthey (1913) menyebutnya sebagai intelligibility historis atau kemasukakalan sejarah. Secara rinci dalam intuisi psikologis, Dilthey menemukan corak hermeneutika yang khas yaitu dengan menghubungkan sejarah dan kapasitas bawaan (primordial capacity).
Setidaknya ada tiga factor yang mendukung wujud post-nasionalisme yaitu; pertama, factor sejarah bangsa Indonesia yang haus kemerdekaan dan anti kolonialisme ditambah suplemen memori heroic dari para pahlawan nasional yang dikenal gigih dalam berjuang. Kedua, globalisasi telah membuka mata anak bangsa untuk melihat kemajuan negara dan bangsa lain sehingga terakumulasi menjadi kekecewaan yang mendalam dan memunculkan stereotyping bahwa Indonesia Negara yang selalu tertinggal dalam banyak hal. Ketiga, kerinduan yang mendalam akan impian bangsa Indonesia dapat mewujudkan cita bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 menjadi negara yang berdaulat adil dan makmur.
Sejarah Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (adistinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71
artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl meman menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia”itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Post-Nasionalime Islami
Indonesia ditengarai memiliki potensi untuk bangkit menjadi negara maju. Hal ini ditandai dengan munculnya wacana masyarakat madani. Konsep madani merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Sri Datuk Anwar Ibrahim ini hendak menunjukan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasab perorangan dengan kestabilan masyarakat. Dalam konteks dakwah Islam, civil society menjadi masyarakat madani dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi, kota peradaban atau masyarakat kota di Madinah al-Munawaroh yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw pada awal hijrah merubah nama Yastrib menjadi madinah. Prof. Naquib al-Attas menyebut konsep masyarakat madani dengan konsep al-Mujtama’ al-Madani. Dalam perspektif dakwah itu pula, Amrullah Ahmad (1985) menegaskan bahwa Dakwah Islam adalah: ”aktualisasi iman (teologi) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mengetahui cara merasa, berfikir dan bertindak dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.
Emha Ainun Najib merangsang wacana bangsa dengan pandangan bahwa dalam konteks rekonstruksi nasionalisme wajib berpijak dari kecerdasan profetik/ nubuwwah Muhammad Saw pada saat menyebarkan Islam dengan damai dan kasih sayang. Kebanggaan pada nasionalisme sebagai warga bangsa dari tatanan baru dari Yatsrib menjadi Madinah saat itu menjadi salah satu investasi untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban tinggi.
Peluang ini penting untuk dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia dengan mendorong dan memotivasi masyarakat untuk menumbuhkembangkan identitas nasional. Kecintaan pada tanah air yang dibuktikan dengan berbagai cara dan upaya untuk setiap anak bangsa mengukir sejarah dalam berbagai aspek kehidupan. Agar dahaga prestasi dan apresiasi yang selama ini kering kerontang dapat sirna oleh upaya kemandirian tidak mengandalkan belas kasihan dari bangsa lain. Selain sepak bola, banyak event lain yang dapat diapresiasi oleh pemerintah, masyarakat dan media. Semoga post-nasionalisme Indonesia dapat dimaknai sebagai perjuangan yang tidak mengenal mati terlebih hanya karena tidak menjadi juara pada piala AFF.

1 komentar:

  1. menarik sekali..
    brazil bisa menjadi negara besar bukan karena sitem negara yang canggih, ekonomi yang baik, atau lainnya, melainkan karena sepakbola yang sudah mendarah daging di masyarakat dam menjadi alat pemersatu bangsa.

    BalasHapus