Minggu, 21 November 2010

REAKTUALISASI DAKWAH ISLAM

Rohmanur Aziz, S.Sos.I., M.Ag.

Dakwah adalah aktifitas suci yaitu ragam upaya mengajak manusia untuk memelihara iman dan melakukan perubahan pada kebaikan di dunia maupun untuk di akhirat. Melalui aktivitas dakwah, manusia diajak untuk bersikap tegas dalam menentukan posisi saat ini (dunia) untuk masa depan (akhirat). Apakah berpihak pada kebaikan dan kebenaran atau keburukan dan kesalahan? Ajakan kepada orang baik bertujuan untuk memelihara kebaikan sedangkan mengajak pada orang yang perangai dan akhlaknya buruk merupakan ajakan untuk melakukan perubahan.
Ragam asumsi yang selama ini melekat pada masyarakat bahwa dakwah identik dengan khutbah di masjid atau majlis taklim, padahal dakwah secara umum adalah menyeru manusia untuk berubah apakah dari buruk menjadi baik atau sebaliknya karena seruan dakwah ada yang mengajak pada jalan Alloh dan ada juga ke jalan syetan. Firman Alloh: “Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”. (Q.S. Yusuf: 108).
Bandingkan dengan firman Alloh: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q.S. Fathir: 6). Pada kedua ayat tersebut terdapat kata yad’uu, yang artinya mengajak. Hanya saja, jika kita perhatikan lebih seksama subjek dari kalimat pada kedua ayat tersebut berbeda yang pertama Alloh dan rosulnya dan yang kedua adalah syetan. Jadi, secara umum dakwah dapat dilakukan oleh pihak –pihak yang pro-kebaikan; kontra kejahatan dan sebaliknya.
Kini saatnya asumsi dan persepsi masyarakat dirubah. Bahwa ragam aktifitas dakwah itu luas dan dapat menyentuh berbagai aspek kehidupan. Terlebih ketika dakwah sudah tidak sekedar pengetahuan tapi kini sudah menjadi ilmu dakwah. Eksistensi ilmu dakwah perlu dikuatkan secara maksimal oleh para ilmuan dakwah agar dakwah yang dilakukan oleh segenap umat Islam mempunyai kerangka metodologis sehingga dapat menghasilkan dakwah yang berbobot dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang paripurna. Melalui kemapanan metodologi dakwah, diharapkan Islam tidak dijadikan komoditas politik dan ekonomi (bisnis) sebagaimana selama ini terjadi. Pada ranah politik misalnya, ada beberapa partai yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak Islami bahkan ada yang secara tegas menyebut sebagai partai dakwah namun arah gerakan politiknya tidak seirama dengan kerangka ilmu dakwah.
Pada ranah ekonomi, beragam aktifitas ekonomi yang menjadikan Islam sebagai komoditas untuk meraup keuntungan. Dengan kata lain, telah terjadi komersialisasi agama untuk kepentingan para pemilik modal karena pengaruh kapitalisme seperti maraknya label bank-bank syari’ah walaupun praktuknya tidak syar i’ dan begitupula pada ranah pendidikan dll.
Oleh karena itu penting kiranya bagi umat Islam untuk mempelajari, memahami dan mengembangkan ilmu dakwah serta mendakwahkan dakwah untuk kepentingan universal yaitu terwujudnya tatanan masyarakat yang baik atau good governance. Hal ini akan mendorong percepatan dalam mewujudkan masyarakat muslim yang madani.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban tinggi sarat dengan keteraturan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep Masyarakat Madani berasal dari perbincangan konsep civil society yang secara historis terdapat di eropa dengan pengertian masyarkat sipil yang diciptakan sebagai tatanan masyarakat yang egaliter, demokratis, toleran dan inklusiv. Namun keberadaan masyarakat sipil diyakini sebgai hasil cipta akal budi manusia eropa yang maju dan mendambakan peradaban yang menjunjung tinggi hak-hak dan nilai-nailai kemanusiaan. Dengan demikian civil society madzhab eropa ini bersifat antroposentris. Sedangkan konsep yang lain disampaikan oleh Anwar Ibrahim civil society sebagai tatanan masyarakat madani yang nilai-nilai nya diambil dari tatanan masyarakat madinah ketika Nabi Muhammad saw. hijrah dari Hijaz (Mekkah) ke Yatsrib dan kemudian menamakannya Madinah al-Munawaroh berasal dari kata madaniyun artinya kota yang bertabur cahaya. Karena Nabi Muhammad sebagai nabi dan Rosul dalam membangun Madinah oleh karenanya konsep Civil Society madzhab masyarakat madani bersifat teosentris.
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama. Dalam mozaik intelektual yang indah pengertian masyarakat madani berkembang diantaranya:
a. Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
b. Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang pablik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
c. Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Secara lugas konsep masyarakat madani menggambarkan kesadaran akan keteraturan system kehidupan dalam suatu tatanan masyarakat dengan dilandasi oleh nilai-nilai luhur universal.
Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme.
Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat. Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, “serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam”.
2. Tujuan Masyarakat Madani
Tujuan dari masyarakat madani adalah terwujudnya kesejahteraan, keadilan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat madani bukan hanya tujuan tetapi perangkat cara yang mendorong suatu peradaban yang memanusiakan manusia.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama.
3. Masyarakat Madani Perspektif Sejarah Islam
Dalam perspektif Islam, masyarakat madani diadopsi dari tatanan masyarakat madinah, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban dunia Islam bahkan menjadi inspirasi bagi seluruh peradaban dunia sejak Nabi Muhammad Saw hijrah dari hijaz (Mekkah) ke Yatsrib (Madinah). Dengan kekuatan iman, Nabi Muhammad dan para sahabat yang ikut dalam perjalan hijrah (muhajirin) bertemu dengan masyarakat Yatsrib saat itu (anshar) yang diselimuti kecintaan dan kerinduan kepada sosok Muhammad yang didengar membawa ajaran nilai-nilai yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Melalui akhlaq mulianya Nabi menggagas Madinah sebagai kota yang tak kalah strategis dari Mekkah. Dengan tangannya sendiri Nabi member contoh kepada para sahabat dalam pembangunan Madinah.
Selain semangat kebersamaan dan euporia kebebasan teologis setelah Islam masuk ke Yatsrib, masyarakat Madinah responsive terhadap segala gagasan Nabi. Untuk mengatur relasi antara agama dan tatanan kemasyarakatan saat itu Muhammad membuat perjanjian tertulis antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang Yahudi yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik.
Perjanjian Madinah atau Konstitusi madinah yang nota bene sebagai the first written constitution in the world dikeluarkan pada tahun pertama Nabi Hijrah ke Yatsrib. jadi bertepatan dengan tahun 622 M.; dua tahun sebelum meletus Perang Badar.
Dari 47 pasal isi Piagam Madinah tersebut, dapat dikelompokan menjadi 11 tema dan pokok pikiran, yaitu: Pertama, masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi keturunan, budaya, maupun agama yang dianutnya. Tali pengikat yang mempersatukan mereka adalah ideology politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama; (Pasal 17, 23, dan 24); Kedua, masyarakat pendukung piagam ini yang semula terpecah-pecah dapat dikelompokan kedalam dua kategori, Muslim dan bukan Muslim. Tali pengikat sesama Muslim adal persaudaraan agama atau “ukhuwah Islamiyah” (Pasal 15). Diantara mereka harus tertanam rasa solidaritas sesama muslim yang tinggi; (Pasal 14; 19; dan 21); Ketiga, negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah bagi orang-orang yang bukan Muslim, terutama kaum Yahudi. (Pasal 25; dan 33); Keempat, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat; wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk; (Pasal 16) bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11); Kelima, semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara (Pasal 24; 36; 37; dan 41); Demikian juga tanggung jawab dalam melaksanakan tugas; Keenam, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum; (Pasal 34; 40; 46); Ketujuh, hukum adat (kebiasaan pada masa silam) dengan berpedoman kepada keadilan dan kebenaran tetap diberlakuka; (Pasal 2; 10); Kedelapan, hukum harus ditegakkan. Siapapun tidak boleh melindungi kejahatan, apabila berpihak kepada orang-orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan kebenaran siapa pun pelaku kejahatan tanpa pandang bulu harus di hukum (Pasal 13; 22; dan 43); Kesembilan, perdamaian adalah tujuan utama; namun, dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran; (Pasal 45); Kesepuluh, hak semua orang harus dihormati; (Pasal 12); Kesebelas, pengakuan atas hak milik individu (pasal 47).
Madinah sebagai rujukan dari konsepsi masyarakat madani memperlihatkan bahwa madinah tidak semata dibangun dari perspektif teosentrisme tetapi juga antroposentrisme. Nabi memerankan dirinya sebagai utusan Allah ketika dimungkinkan ada persolan yang tidak dapat diselesaikan dalam konteks sosiologis. Ini membuktikan bahwa proses empowerment yang totaliter menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan tatanan masyarakat madani sebagaimana dilakukan Nabi di Madinah.
Karena nuansa Islam yang dipandang resisten terhadap isu-isu global kontemporer, seringkali para ilmuwan dan para sosiolog modern enggan untuk mengakui bahwa brand (merek) dari konsepsi civil society berawal dari masyarakat madinah. Walaupun demikan, Rousseau dalam teori Sosial Contract-nya tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: “Muhammad memiliki kekuatan besar yang mampu menjaga persatuan dalam sistem politik masyarakatnya, dan selama pemerintahannya mampu melahirkan kekhalifahan yang dapat mewarisi kesukesesannya, pemerintah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, hal inilah yang membuat masyarakat muslim semakin berkembang.” Sebuah pengakuan yang jujur dari seorang ilmuan Eropa.


4. Civil Society Perspektif Sejarah Masyarakat Eropa
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah folosof dan orator yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja.
Civil society digambarkan oleh Cicero sebagai masyarakat yang baik, terbuka dalam hubungan yang harmonis antara negara dan masyarakatnya.
The concept of societas civilis is Roman and was introduced by Cicero. The political discourse in the classical period, places importance on the idea of a ‘good society’ in ensuring peace and order among the people. The philosophers in the classical period did not make any distinction between the state and society. Rather they held that the state represented the civil form of society and ‘civility’ represented the requirement of good citizenship.[2] Moreover, they held that human beings are inherently rational so that they can collectively shape the nature of the society they belong to. In addition, human beings have the capacity to voluntarily gather for the common cause and maintain peace in society. By holding this view, we can say that classical political thinkers endorsed the genesis of civil society in its original sense.
JJ. Rousseau, John Locke, dan Thomas Hubbes sebagai ilmuan yang datang dari eropa menggagas civil society melalui teori sosial contract (kontrak sosial). Dalam teorinya itu JJ. Rousseau, John Locke, dan Thomas Hubbes menyatakan bahwa kemajuan-kemajuan suatu masyarakat dapat diraih dengan dengan kesepakatan kesepakat sosial yang juga harus ditunjang oleh prinsip-prinsip civil society diantaranya, demokratis, terbuka dan adil yang menurut Francis Fukuyama diharuskan adanya sosial capital (modal sosial). Menurut Fukuyama, kemajuan ekonomi, politik dan hukum akan berhasil jika disandarkan pada sosial capital.
Sosial capital is important to the efficient functioning of modern economies, and is the sine qua non of stable liberal democracy. It constitutes the cultural component of modern societies, which in other respects have been organized since the Enlightenment on the basis of formal institutions, the rule of law, and rationality. Building sosial capital has typically been seen as a task for "second generation" economic reform; but unlike economic policies or even economic institutions, sosial capital cannot be so easily created or shaped by public policy. This paper will define sosial capital, explore its economic and political functions, as well as its origins, and make some suggestions for how it can be cultivated.
Pada ruang modal sosial, konsep civil society mendapat tempat yang tak terbantahkan sebagai perangkat lunak yang memiliki kekuatan besar (soft power) untuk mendorong kebijakan-kebijakan public yang mengedepankan kepentingan kemanusiaan (humanisme). Sehingga dengan soft power itu dapat menumbuhkembangkan kesadran kritis. Dengan kritik-kritik itu masyarakat eropa yang semula berada dalam keterkungkungan dan kejumudan tirani kaum gereja menjadi bangkit dan menemukan masa pencerahannya.
Sosiologi dan teori kemasyarakat disusun berdasarkan perkembangan intelektual manusia melaui konteks sejarah sendiri—selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20—setelah revolusi politik di Eropa dan kebangkitan proses industrialisasi. Robert Nisbet menjelaskan periode ini sebagai satu dari dua revolusi besar, yaitu revolusi industri (Inggris) dan revolusi politik (Prancis).
Perubahan radikal yang terjadi pada rentang sejarah yang cukup cepat di Eropa merupakan anti-tesis dari tradisi gereja yang menkooptasi kekuasaan negara hingga terdorong pada perubahan paradigma masyarakat Eropa untuk menyeimbangkan system kemasyarakatan dengan tradisi intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai cara termasuk yang paling dominan melalui filsafat.
Montesquieu dalam tulisannya De l’esprit des lois tahun 1748 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku manusia adalah lingkungan geografi, cuaca, jiwa, tradisi dan sebagainya.
Pada abad-19 dikenal dengan abad empiris, Psikologi, Antropologi, Ekonomi, Geograf, Ilmu Hukum, Ilmu Politik dan Sosiologi lahir sebelum akhir abad-18.
Antropologi mulai menjadi disiplin ilmu dalam karya-karya Christoph Meiners (1747-1810), Gustav Klemm (1802-1867) dan Theodor Waitz (1821-1864). ekonomi, tokohnya Adam Smith, karyanya berjudul The Wealth of Nation 1776 memposisikan ilmu ini menjadi ilmu yang mandiri, yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo, Thomas Malthus, James Mills dan John Stuart Mill. Geografi, semenjak renaisans informasi geografi mulai terakumulasi secara cepat, dimulai oleh Henry seorang navigator, dikembangkan oleh Alexander Von Humbolt (1769-1859), Karl Ritter (1779-1859), Prederich Ratzel (1844-1904) dll. Ilmu Hukum, tokohnya Thibaut mengusulkan untuk mengadopsi kode-kode hukum, kode-kode tersebut diuji kembali tahun 1814 oleh Savigny. Ilmu Politik adalah ilmu yang tertua dalam ilmu-ilmu sosial, tokohnya abad 17 dan 18 Locke, Rousseau, Hume, Montesquieu, Hegel dll. Psikologi, tokoh abad 18 Descartes, Leibnitz, Hobbes dll. Sosiologi merupakan ilmu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, terakumulasi dari empiric dan dari teori ilmu sosial lainnya yang berawal dari filsafat sosial. Tokohnya yang terkenal adalah Auguste Comte (1830-1842) dikembangkan oleh Herbert Spencer. Sebenarnya Ibnu Khaldun (1332- ) sebagai tokoh pertama yang telah menemukan teori solidaritas, namun entah apa alasannya saintis menyatakan Auguste Comte sebagai perintis pertama.
Terlepas dari adanya sekat antara Islam dan Barat yang seringkali dibentur-benturkan seperti halnya dilakukan oleh Samuel P. Huntington, peradaban Eropa telah mengawali kemajuannya dengan membuka sekat-sekat psikologi sosial dan membongkar gembok kekakuan dalam pengakuan pada setiap khazanah ilmu pengetahuan untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban yang dalam konsepsi lebih umum disebut sebagai civil society atau masyarakat sipil. Pembeda antara keduanya adalah latar belakang teologis.
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka—nilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.
Islam dapat membuka jembatan peradaban baru yang mendialogkan civil society dalam format baru hasil elaborasi dari gagasan-gagasan manusia dan doktrin agama. Pada ruang lingkup yang lebih luas universalitas ajaran Islam dapat menyentuh setiap peradaban bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia.

5. Masyarakat Madani di Indonesia
Pasca di wacanakannya konsep masyarakat madani oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Dalam konteks, ke-Indonesia-an akan bersentuhan dengan konsep Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia yang dapat membingkai realitas bangsa yang multi-kultural.
Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern. Dengan kata lain, Indonesia tidak dimaksudkan untuk dibangun dan dikembangkan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika konstitusional dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini. yang mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Demikian pula dalam instrumentasi dan praksis kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi, serta dampak perkembangan internasional pada setiap zamannya.
Wacana multi-kulturalisme dalam konteks global memantapkan mozaik civil society setelah wacana itu mengemuka dan mendapat perhatian hingga menjadi kajian intelektual yang turut berfungsi menambah energi dalam membangun tatanan masyarakat dunia yang beradab dan dilandasi atas prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Multikulturalisme dihadirkan dalam suasana kemajemukan dibingkai dengan demokrasi dan penegakan hukum (law enforcement).
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengembangkan sistem hukum nasional adalah adanya pluralisme hukum, terutama dalam konteks ini adalah antara hukum nasional dan hukum agama, terutama hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia.
Terkait dengan multikulturalisme, pluralisme hukum di Indonesia yang terdapat dalam hukum nasional harus secara bijak menjadi muara yang adil dari latar belakang bangsa Indonesia yang multikultural. Walaupun Islam sebagai agama yang pemeluknya mayoritas melalui universalitas ajarannya, Islam diyakini oleh para pemeluknya dengan lentur dapat menjadi perekat dan rahmatan lil’alamiin.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya integrasi sistem hukum, integrasi kesadran hukum dan integrasi konsep pendidikan hukum.Proses integrasi tersebut dilakukan dengan titik temu dalam UUD 1945 sebagai kalimatun sawa’. Hal ini mirip dengan di zaman Rasulullah dulu dengan ”Piagam Madinah”.
Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya, Piagam Madinah adalah tonggak sejarah tatanan masyarakat madinah yang kemudian dikonsepsi menjadi masyarakat madani. Secara tersirat, Islam dalam ke-Indonesia-an terintegrasi dalam nilai-nilai Pancasila yang mengarahkan pada kemajuan bangsa dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Potret masyarakat Indonesia, kedewasaanya diperoleh dengan menekankan bahwa sikap partikularitas dan universalitas Pancasila yang ada bukan hanya hak-hak melainkan juga kewajiban-kewajiban individual/sosial. Atas dasar itu para pendahulu bangsa Indonesia dalam perjuangannya menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dangan semangat anti penjajahan karena telah merasakan pahitnya dijajah. Seiring dengan itu, pasca-kemerdekaan RI tahun 1945 pembangunan bangsa dilakukan dengan mobilitas keswadayaan yang cukup tinggi dengan semangat teologis sebagai bentuk pengakuan atas ketidakberdayaan dihadapan Tuhan, kemanusian dengan penuh kasih sayang kepada sesama, persatuan, gotong royong, kepedulian terhadap diri sendiri dan sesama, menjunjung tinggi keadilan sosial sebagai representasi dari kekuatan dan keberdayaan manusia dihadapan makhluk lainnya. Nilai-nilai tersebut merupakan harapan atas tafsir dari masyarakat madani di Indonesia untuk diejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun pada realitas kekinian nampak jelas bahwa harapan tersebut belum terwujud. Ini dimungkinkan oleh tiga asumsi dasar. Pertama, dimungkinkan ada kesalahan dalam sistem kepemerintahan. Kedua, belum nampaknya hasil yang dinginkan karena masih pada proses perbaikan untuk kemajuan. Ketiga, terjadi human eror permanent, Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang menolak kemajuan melalui konsep modern masyarakat madani yang mensyaratkan sosial capital. Dari ketiga asumsi tersebut, yang paling mungkin adalah asumsi kedua, sehingga bangsa Indonesia membuka ruang kepada dirinya untuk “bertaubat” mengganti setiap perilaku menyimpang dan sesatnya menjadi perilaku yang baik dengan harapan terciptanya proses dan hasil yang baik (good citizenship) atau khoir al-ummah.

‘IDUL QURBAN SEBAGAI MOMENTUM PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN

Selama ini umat Islam di seluruh dunia memandang perayaan ‘Idul Qurban terfokus pada tauladan kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail as. Padahal ada peran lain yang tidak kalah menarik dari sisi substansi dan konteksnya, yaitu pengorbanan Siti Sarah dan Siti Hajar.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kedua sososk perempeuan tersebut, diantaranya:
1. Betapa tinggi nilai keikhlasan dan ketaatan Siti Sarah mempersilahkan nabi Ibrahim untuk menikah lagi kepada perempuan lain (Siti Hajar), dengan tujuan memaksimalkan ikhtiyar mendapat keturunan yang sholeh atas do’a yang dipanjatkan.
2. Keterbukaan berfikir dari seorang Siti Sarah, cara berfikir alternative yang sesungguhnya lebih mendamaikan dan menenteramkan hati terutama bagi kaum perempuan yang berkecenderungan berfikir linier (searah).
3. Ketaatan Siti Hajar pada perintah Alloh yang disampaikan melalui Ibrahim ketika ditinggal sendiri di tengah padang pasir yang tandus pada saat sedang hamil dan harus berjuang melahirkan dan merawat Ismail hingga besar hingga ada perintah disembelih dan kemudian diganti menjadi syari’at qurban dan haji.
Kedua sosok perempuan ini menjadi symbol dari kekuatan kaum perempuan dengan mengelaborasi sifat jamal (feminisme) dan jalal (maskulin) untuk mengukir sejarah peradaban manusia. Keduanya mempertontonkan sebuah adegan dramatis yang juga menjadi symbol perjuangan sekaligus pengorbanan atas kecintaan dan kepatuhan hamba pada Tuhan-nya.
Semoga dapat menjadi bahan renungan terutama bagi kaum perempuan yang selama ini merasa tertindas budaya lokal dan global..!

DO’A YANG MISTERIUS

Memasuki bulan Dzulhijjah 1431 Hijriyah, Indonesia kembali didera musibah yang bertubi-tubi, sudah sepantasnya kita sebagai makhluk, menyikapinya dengan senantiasa sabar dan sholat. Firman Alloh: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”.(Q.S.2:45). Sabar bukan berarti diam, tetapi sabar merupakan aktivitas positif dengan segenap upaya mempertahankan diri ketika menghadapi masalah atau musibah. Sedangkan sholat pada hakikatnya adalah do’a, yaitu sikap bergantung (interdependensi) kepada Alloh SWT sebagai Pencipta (kholiq), Pemelihara (Rabb) dan Pengusa (Malik) dari alam semesta dan seisinya. Sholat yang sempurna adalah sholat yang bernilai ritual dan social yaitu nilai-nilai dalam sholat dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dimensi sosial, saat seseorang menghadapi suatu hajat atau suatu kepentingan, ia senantiasa memohon do’a dan restu kepada sesamanya. Ini menggambarkan sebuah kondisi jiwa yang haus akan perhatian dan kasih sayang sesama. Jika, suatu ketika seseorang mengetahui bahwa dirinya sedang dido’akan baik oleh saudaranya maka dipastikan ia akan sangat senang.
Pantas, Rosululloh Saw. mengajarkan kepada umatnya untuk menebarkan salam dengan lafadz “Assalamu’alaikum” (semoga keselamatan/ kedamaian tetap atas kamu semua). Sebuah ajaran yang mulia dengan memuliakan manusia melalui do’a. Di dalam Islam diajarkan bahwa membaca salam itu sunnah dan menjawabnya wajib. Ini menunjukan keharusan untuk mengapresiasi atas kebaikan orang lain dalam bentuk do’a.
Islam pun mengajarkan kepada umat Rosululloh Saw untuk bersilaturrahim yang secara hakiki bermakna mengkoneksikan kasih sayang. Implikasi dari koneksitas itu akan mengaktifasi setiap do’a yang dipanjatkan oleh sesama umat Rosululloh.Ajaran Islam senantiasa mengajak umatnya untuk saling mendoakan sesama saudaranya seiman.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya do’a seseorang kepada saudaranya karena Allah adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).“ (Shohih secara sanad)
Dari Shofwan bin ‘Abdillah bin Shofwan –istrinya adalah Ad Darda’ binti Abid Darda’-, beliau mengatakan,
“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummud Darda’ (ibu mertua Shofwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abud Darda’ (bapak mertua Shofwan, pen). Ummu Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun ini?” Aku (Shofwan) berkata, “Iya.”

Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan padaku karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,” “Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”
Shofwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’ mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shohih) Lihat Ash Shohihah (1399): [Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal. 88].
Kedua hadits tersebut nampak jelas bahwa do’a dari orang yang tidak diketahui itu mustajab atau terkabulkan. Ini adalah peluang yang bagi umat Islam untuk senantiasa saling mendo’akan baik secara langsung maupun tidak langsung. Meminta dido’akan dan meminta maaf itu baik, tapi mendo’akan dan memberi maaf itu jauh lebih baik.
Saat kita bertemu dengan seseorang ucapakan salam dan bersalaman seraya berbisik mendo’kan “barokalloh” (semoga Alloh melimpahkan keberkahan padamu). Saat kita berbelanja diwarung kecil, do’akanlah semoga Alloh memberikan rizki yang melimpah pada pemilik warung. Begitupun ketika kita diminta untuk mendo’akan seseorang yang mempunyai hajat, maka jangan ditunggu lagi, segera kita do’akan seikhlas mungkin semoga harapannya terkabul. Sungguh indah, ini adalah do’a yang memberdayakan.
Wallohu a’lam

*Terbit di Pikiran Rakyat pada hari Jum'at tanggal 5 Nopember 2010.
Ketua DKM Al-Mu’minuun Griya Utama Rancaekek, Dosen Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.