Senin, 30 April 2012

MEMBUANG KEBURUKAN

Di daerah Bandung Timur, ada fenomena menarik, yaitu kebiasaan membuang bangkai tikus atau ular ke jalanan. Entah mulai kapan kebiasaan itu dimulai. Pada mulanya para pengguna jalan raya berbaik sangka, kemungkinan tikus dan ular yang dimalam hari melintas ke jalan raya kemudian tertabrak mobil atau motor. Jika diamati secara seksama ternyata fenomena itu juga terjadi di jalan kecamatan, jalan lingkungan bahkan di gang kecil. Secara logika, tidak mungkin ada warga yang berani dan tega mengotori lingkungannya sendiri dengan cara membuang bangkai binatang ke jalanan. Kini ada fenomena yang lebih dahsyat lagi, bukan hanya bangkai tikus dan ular tetapi onggokan-onggokan sampah yang terserak di jalan raya. Mulanya, sayapun berprasangka baik mungkin onggokan-onggokan yang sudah memipih itu bukan sampah tapi belanjaan jatuh dari orang pasar yang pulang belanja, namun setiap hari lewat ternyata semakin sering melihat onggokan-onggokan sampah di jalanan yang sudah pipih tergilas mobil. Logika sehatpun tidak bisa mencerna, jika setiap hari ada orang yang jatuh belanjaannya di jalan raya dan tergilas mobil hingga pipih berantakan. Ada beberapa kemungkinan kenapa masyarakat tidak mengubur bangkai ular tikus dan sampah atau paling tidak membuang pada tempatnya yang tepatnya. Pertama, dimungkinkan tidak tersedianya fasilitas untuk mengubur bangkai dan membuang sampah karena program betonisasi yang marak dilakukan masyarakat, bahkan kini menjadi program pemerintah dengan betonisasi jalan raya, jalan kecamatan, jalan lingkungan hingga jalan gang. Masyarakatpun mulai alergi dengan rumput yang tubuh dihalaman rumah dan akhirnya dilakukan betonisasi agar mengakhiri atau paling tidak meminimalisir kerja bakti. Kedua, dmungkinkan masyarakat memang bingung tidak tahu tempat yang tepat untuk membuang bangkai dan sampah hingga akhirnya dicampakkan di sungai atau di jalanan. Ketiga, bangkai dan sampah menjadi simbol keburukan bagi masyarakat sehingga dianggap pantas untuk dicampakkan di jalanan dan diinjak-injak manusia dan dan dilindas kendaraan bermotor. Ular dijadikan dimaknai sebagai simbol kemunafikan karena tidak istiqomah dalam pendirian karena cara jalannya yang meliuk-liuk, kadang corak badannya menarik perhatian, eksotis dan erotis tapi berbahaya karena memiliki bisa yang kebanyakan mematikan. Tikus dimaknai sebagai binatang pengerat yang rakus walaupun sesungguhnya dia tidak menikmati karena tubuhnya tidak pernah tumbuh segemuk kelinci, kambing atau gajah tapi dia makan dan merusak apapun yang didapati sehingga makhluk lain terutama manusia gemas pada tikus yang sukanya berbuat kerusakan (fasad). Sementara sampah dimaknai sebagai simbol barang yang tidak berguna, tidak memberikan manfaat dan kalaupun ada manfaat tentu harganya tidak dapat lebih dari yang bukan sampah. Ini artinya, tidak mungkin jika sesuatu yang dicampakan dijalanan itu sesuatu yang baik. Dapat dipastikan bahwa bangkai ular, tikus ataupun sampah adalah sesuatu yang buruk sehingga dipandang tepat jika dicampakkan di jalan tergilas oleh kendaraan bermotor. Walaupun mungkin dalam pandangan yang lebih bijak, bukan berarti ular, tikus dan sampah tidak ada gunanya yang jelas dalam konteks ini kebanyakan orang tidak suka pada ular, tikus dan sampah apalagi sudah menjadi bangkai atau membusuk. Lain halnya perlakuan para pengguna jalan pada bangkai kucing atau anjing, dapat dipastikan Pada hakikatnya, fenomena sosial tersebut adalah proses kebencian universal manusia terhadap sifat-sifat dan karakter buruk manusia lain disekitarnya yang kini seringkali berulah, menjengkelkan, menggemaskan, merusak dan eksistensinya tidak memberikan kemanfaatan pada masyarakat lainnya. Padahal 14 abad silam, Nabi SAW menyampaikan pesan kepada umatnya bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya (khoir al-naas ‘anfauuhum li al-naas). Penulis: Rohmanur Aziz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar