Rabu, 28 September 2011

Halo Dunia Komunikasi

MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA MELALUI KOMUNIKASI
Rohmanur Aziz*

Manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, oleh karenanya manusia senantiasa berinteraksi dengan sesamanya untuk menjalankan fungsi-fungsi komunikasi diantaranya fungsi sosial, ekspresif, ritual dan fungsi instrumental. Fungsi sosial mengisyaratkan pentingnya komunikasi untuk membangun konsep-diri dan aktualisasi diri untuk kelangsungan hidup dan memperoleh kebahagiaan agar terhindar dari tekanan dan ketegangan. Fungsi ekspresif bertujuan menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) seperti rindu, sayang peduli, simpati, sedih, gembira, takut dll. Sementara fungsi ritual adalah penyampaian pesan-pesan yang bernuansa magis, mistik, dan religius dari manusia kepada tuhan yang dipercayainya dengan mengucapkan kata-kata atau penampilan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik, dan fungsi instrumental bertujuan menginformasikan, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, mengubah perilaku, atau menggerakan tindakan dan juga untuk menghibur (www.coremap.or.id).
Berkaitan dengan fungsi-fungsi komunikasi tersebut, kini secara umum bangsa Indonesia sedang memasuki atau masih pada masa gegar budaya (shock culture). Sebuah budaya baru hasil dari ledakan besar budaya (culture big bang) akibat produksi besar-besaran teknologi komunikasi dan informasi. Dampak sosial dari ledakan tersebut, terjadi semacam transformasi genetika manusia sebagai makhluk modern yang berusaha menjadi wujud tunggal yang satu sama lain terkoneksi seakan tak terpisahkan oleh ruang dan waktu. Dalam satu waktu manusia dari setiap belahan dunia dapat berkomunikasi secara langsung melalui teknologi komunikasi yang super canggih.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi abad 21 dipengaruhi oleh gagasan-gagasan cemerlang dari para ilmuan yang senantiasa menjawab setiap tantangan dengan kemudahan teknologi. Tentunya hal ini memberikan kontribusi positif dalam berbagai aspek kehidupan terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan sekaligus memberi dampak negatif pada sebahagian aspek sosiologis sehingga tatanan kehidupan masyarakat dengan sendirinya bergeser membentuk karakteristik tertentu. Kondisi antara ketertinggalan dan kemajuan disebut sebagai kondisi transisi (prismatic). Oleh karena itu, masyarakat transisi disebut juga sebagai prismatic society yaitu sekelompok manusia yang menduduki suatu wilayah yang dari aspek, geografis, geo-politik dan budaya lebih maju dari masyarakat desa tetapi belum masuk kategori masyarakat kota. Dalam konteks negara, prismatic society lebih tepat dialamatklan pada negara berkembang seperti Indonesia.
Menarik memang ulasan beberapa pemikir di awal abad ke-21, bahwa “mesin peradaban” masyarakat sedang berfungsi untuk membawa suatu tatanan baru di dalam masyarakat (A. Watloly , 2006). Bangkitnya turbin “mesin peradaban” itu adalah suatu gejala dari semakin pentingnya eksistensi masyarakat, termasuk eksistensi local genius yang tampak melalui berbagai bentuk kearifan lokal, atau dalam terminologi sosiologi disebut sebagai “modal sosial” (social capital) (Robert R. Lawang, 2005). Social capital adalah modal untuk membangun kembali kesadaran kritis masyarakat dengan cara menggali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan untuk diletakan menjadi fondasi pembangunan yang partisipatif. Adapun ciri-ciri partisipasi adalah proaktif, kesetaraan, ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat, ada tindakan yang mengisi kesepakatan, dan ada pembagian kewenangan (hak) dan tanggungjawab.
Peranan teknologi informasi dan komunikasi pada negara berkembang seperti Indonesia sangat urgen untuk menggalang kembali modal sosial yang selama ini tergerus oleh dinamika zaman termasuk didalamnya dinamika politik nasional yang melahirkan demokratisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Media jejaring sosial seperti halnya millis, friendster, facebook, twiter dan bahkan layanan short massage service (sms) via handphone menjadi sangat urgen dalam konteks perubahan sosial.
Namun pada kondisi transisi tersebut, bangsa Indonesia harus dimaklumi sebagai bangsa yang sedang mencari identitas baru. Dalam kritik Gus Dur, Indonesia disebut “bangsa yang bukan-bukan”. Kritik tersebut merupakan wujud nilai sementara dari kegelisahan seorang mantan kepala negara yang pengamatannya lebih komprehensif. Indonesia tidak bersedia disebut negara kapitalis apalagi komunis terlebih lagi negara Islam. Sementara itu, komitmen bangsa terhadap pancasila pun belum nampak, terlebih mewujud dalam perhitungan peradaban dunia dan dapat mensejahterakan rakyat.
Salah satu pilar negara yang mempunyai peran yang signifikan adalah pers. Fungsi utama pers adalah membuka ruang publik bagi rakyat untuk turut serta berpartisipasi membangun bangsa melalui media pers. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah social setting bangsa Indonesia dengan peranan media informasi dan komunikasi menjadi semacam media pers. Melalui account internet dan berbagai fasilitas jejaring sosial tidak disadari telah mengambil alih fungsi media pers menjadi tersebar (difusi) dapat digerakan oleh setiap individu. Bahkan direncanakan pada tahun 2014 kelak iklan tidak bukan hanya di televise dan internet tetapi akan mengembangkan konsep one to one via SMS atau yang popular disebut mobile advertising (Republika, 28/04/2011). Pada ranah public, berbagai kasus, seperti koin untuk Prita mulyasari, Bibit dan Candra M. Hamzah (KPK), Gayus Tambunan, Susno Djuaji, kasus Century dan sebagainya sampai kasus lipsing Norman anggota Brimob di Youtube. Fenomena ini menandakan bahwa betapa teknologi informasi dan komunikasi terintegrasi dengan setiap individu user yang kini dapat diakses melalui setiap handphone, blackberry dan laptop. Ini artinya pers nyaris sudah ada pada genggaman sebagian besar rakyat karena pada masyarakat modern saat ini sudah tidak lazim jika masih ada orang yang tidak memiliki dan menggunakan handphone.
Kepemilikan massal i-pad, blackberry dan handphone inilah yang kini menjadi ujung pangkal setiap fenomena sosial. Betapa dunia maya telah menjadi nyata hingga menjadi perbincangan hangat sampai pelosok kampung bahkan dapat mengubah emosi para pemimpin nasional. Kecanggungan komunikasi, kini sirna ketika masuk dunia maya, kata-kata menjadi tidak terkendali diiringi kondisi jiwa yang sangat emosional. Media informasi dan komunikasi telah membuat bolak balik makna “jauh di mata, dekat di hati; jauh di hati dekat di mata”. Jika tidak ada bimbingan, dapat dipastikan para user akan terjerembab pada situasi hyper realitas, yaitu gaya hidup yang tidak realistis atau diskoneksi antara harapan-harapan saat on line (OL) atau komunikasi via media dengan kenyataan-kenyataan hidup yang harus dihadapi ketika komunikasi langsung atau off line.
Fenomena masalah yang semakin mengkristal pada penggunaan media informasi dan komunikasi adalah gaya hidup berkomunikasi yang tidak kontrol dan mengabaikan realitas. Sehingga, komunikasi on line menjadi gaya hidup sedangakan komunikasi off line dipandang tidak penting. Silaturrahim via facebook menjadi sangat penting daripada bercengkrama dengan keluarga. Ngobrol dan ngerumpi via handphone di ikhlaskan menyita banyak waktu sedangkan diskusi dan silaturrahim dengan tetangga hanya saat ada tugas ronda siskamling.
Dalam perspektif ilmu komunikasi, konseptualisasi komunikasi ada tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi yaitu komunikasi sebagai tindakan satu-arah, komunikasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Tentunya ketiga konseptualisasi komunikasi tersebut dapat berdampak pada perilaku orang yang berkomunikasi (komunikator). Pada konsepsi satu-arah seringkali digunakan untuk mempengaruhi (to influence) objek komunikasi (komunikan) untuk tujuan tertentu misalnya khutbah jum’at, hypnotis atau cuci otak (brain washing) yang saat ini marak dibicarakan media. Konsep komunikasi sebagai interakasi dimaknai sebagai bentuk hukum kausalitas atau hukum sebab akibat. Terakhir komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi yang memerlukan penafsiran perilaku orang lain sehingga konsep ini sarat akan persepsi.
Pengguna handphone dan fasilitas jejaring sosial di Indonesia sepertinya asyik pada konsepsi komunikasi yang transaksional tanpa mempertimbangkan nilai produktifitas dan efektifitasnya. Bangsa yang sedang mengalami masa transisi dipastikan memasuki fase shock culture yang kemudian memubadzirkan setiap waktu dengan aktifitas OL nya. Adapun yang menjadi catatan penting dalam analisa fenomena ini adalah perlakuan user/ komunikator terhadap media informasi dan komunikasi bukan pada hubungan antara komunikator dengan komunikannya. Pola hubungan antara komunikator dan komunikan hanya dampak (implikasi) dari perlakuan komunikator pada media. Hal ini dapat ditelaah dari konsep dasar ilmu komunikasi yang menunjukan komunikasi intrapersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi didalam diri seseorang, seakan ada dialog yang kadang sengit dan kadang romantis didalam diri sendiri yang kemudian berdampak pada tampilan wajah yang kadang bermuram durja dan kadang sumringah bahkan tersenyum sendiri yang kemudian ketika kesadaran muncul, terhenyak kaget seakan jadi manusia langit yang jatuh ke bumi.
Komunikasi intrapersonal ini merupakan fitrah setiap manusia sekaligus potensi yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi salahsatu kecerdasan. Para ilmuan pendidikan seperti Thomas Amstrong menyebut komunikasi intrapersonal sebagai salah satu dari kecerdasan majemuk (multiple intelegence). Kecerdasan ini dapat menghasilkan produktifitas tinggi seperti penyair, pelukis, arsitek, ahli desain grafis dan sebagainya. Keberadaan media informasi dan komunikasi menjadi tempat pelampiasan curahan komunikasi intrapersonal yang seringkali tidak disadari berdampak sosial pada masyarakat dunia maya yang terpaut oleh pesan liar yang terpampang pada media informasi dan komunikasi milik orang lain. Munculnya pesan liar tersebut akan memicu respons positif dan negatif dari siapapun yang menemukannya baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Terlepas dari respons yang muncul positif atau negatif, dipastikan komunikator akan mendapat feedback yang kemudian menindaklanjuti respons tersebut dengan berbagai persepsi dan interpretasi seadanya tanpa mempertimbangkan konteks dari proses komunikasi. Sederhananya ketika gagal berkomunikasi misalnya nelpon tidak terangkat dipersepsi dan diinterpretasi yang bukan-bukan sehingga muncul kesimpulan negatif dan cenderung sesat bahwa komunkasinya ditolak buktinya nelpon tapi tidak diangkat. Begitpun melalui fasilitas SMS, e-mail atau facebook. Ternyata bangsa yang dikritik bukan-bukan ini diawali dari kebiasaan berfikir yang bukan-bukan.
Jikapun pesan liar direspon positif oleh komunikan atau masyarakat dunia maya, kehangatan komunikasi diciptakan sedemikan rupa seolah-olah ada dunia baru yang diciptakan di alam ide pada media OL termasuk didalamnya sms. Hidup seolah-olah merupakan gambaran dari adegan drama turki’s sehingga menemukan tempat baru untuk melakukan curahan hati (curhat). Kondisi jiwa seperti ini adalah fase kedua untuk kategori stadium bahaya bagi jiwa manusia yang hidup dalam suasana yang seolah-olah. Kemudian muncul gejala loss control dalam komunikasi. Ini semacam gejala kecanduan dalam berkomunikasi baik on line maupun off line. Muncul kebiasaan “memaksa” orang lain untuk mendengarkan pembicaraannya yang tidak terstruktur dan cenderung banyak menyampaikan pesan-pesan negatif. Celakanya jika dilakukan secara on line, akan muncul frekwensi jiwa yang sama terdapat sikap seolah-olah yang terpaut, sehingga mereka terjerembab menjadi talk mania dan komunika mania.
Komunika mania adalah sikap ketergantungan seseorang pada komunikasi sebagai gaya hidup, baik dengan cara langsung, terlebih menggunakan beraneka ragam media dengan tujuan mencurahkan hasrat komunikasinya tanpa mengharap penyelesaian masalah. Komunika mania sebagai kondisi jiwa yang hyper dalam berkomunikasi sehingga berusaha untuk senantiasa mendapat partner untuk menjadi tempat pelampiasan hasrat komunikasinya.
Di tempat keramaian seringkali dijumpai banyak orang-orang yang asyik berkomunikasi dengan menggunakan handphone atau blackberry. Mereka seringkali mengabaikan orang-orang disekitarnya. Perilaku ini perlahan mewabah menjadi gejala sosial dengan memperlihatkan karakteristik yang khas diantaranya; pertama, kecenderungan individualistik yaitu sikap yang mengabaikan nilai kebersamaan dan mementingkan kebutuhan dirinya tanpa memikirkan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama. Kedua, kecenderungan permisif yaitu yang mengabaikan kehendak diri untuk terlibat dalam urusan orang lain sehingga muncul sikap membiarkan segala aktifitas orang lain walaupun tidak sesuai dengan norma dan etika. Karakteristik ini akan berimplikasi pada sikap membenarkan yang biasa bukan membiasakan yang benar. Ketiga, kecenderungan hyper realitas atau idealis utopis, yaitu sikap yang menggambarkan kepribadian yang memilih selera gaya hidup tinggi seakan menjadi manusia kelas satu yang senantiasa harus dilayani walaupun berada dalam kondisi tidak realistis. Keempat, kecenderungan instan dan serba ingin cepat tanpa mempertimbangkan proses yang dilakukan baik atau buruk yang penting selesai dan begitupun setelah keinginannya terselesaikan tidak mempedulikan kualitas hasil. Dimunkingkan pula dalam konteks pembangunan nasional, karakteristik ini dapat berkontribusi negatif pada pembangunan infrastuktur, hal ini dimungkinkan akibat perilaku para pimpinan proyek yang ingin instant dalam mendapatkan tender tanpa mempedulikan proses yang dilakukan sarat dengan praktik suap atau semacam “sesaji” proyek. Alhasil, pagu anggaran yang sudah ditetapkan akan dikurangi untuk biaya sesaji, belum lagi biaya sesaji untuk dedemit pembangunan diantaranya untuk biaya keamanan (japrem), pers gadungan dan oknum petugas pemberantasan korupsi agar aman dari delik hukum.
Substansi dari fenomena komunikasi tersebut pada kenyataanya bermuara pada dehumanisasi, yaitu proses yang sistematis runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan dan menafikannya hingga menjerumuskan manusia pada kehinaan dan kenistaan. Dehumanisasi terjadi pada abad modern yaitu zaman kemajuan yang sejak lama menjadi impian dan ramalan kaum tradisionalis. Pada impian kaum tradisionalis, kelak abad modern adalah abad yang serba canggih, serba mudah, serba cepat dan serba praktis. Atas dasar itu, kaum tradisionalis sempat menolak modernisme karena dipandang sebagai faham yang tak lazim hadir pada masyarakat yang memiliki budaya tinggi. Budaya yang dimaksud adalah kuat dalam sistem kekerabatan, saling menghormati dan peduli pada sesama, menjunjung tinggi nilai gotong royong, taat dan patuh pada norma dan etika warisan leluhur. Nilai-nilai tersebut telah lama menghujam dan mengakar menjadi moralitas dan membaur dalam sistem keyakinan dan kepercayaan kaum tradisionalis.
Namun ternyata moralitas itu kini mulai tercerabut tidak kuat diterpa gelombang modernisme yang kemudian berimplikasi terjadinya dehumanisasi akibat ketidaksiapan manusia menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gagap teknologi melahirkan jurang pemisah dalam dimensi sosial masyarakat Indonesia. Hubungan sosial dibatasi oleh kepemilikan materi dan kepemilikan barang-barang mewah baik berupa mesin ataupun barang elektronik. Persahabatan antar negara dan benua di dunia maya lebih akrab ketimbang dengan tetangga dekat. Pengendara (belum tentu pemilik) mobil mewah lebih dihargai ketimbang pengendara mobil tua, terlebih pengendara motor apalagi pejalan kaki. Perlakuan pada pejalan kaki-pun dikategori secara bendawi antara yang berpakaian bagus dan mahal dengan yang sederhana apalagi yang compang-camping. Ini menggambarkan materialisme yang mewabah menjadi sumber penyakit sosial bagi masyarakat Indonesia.
Diantara penyakit yang paling mewabah menjadi penyakit sosial adalah penyakit pecah keribadian (split personality), yaitu penyakit jiwa dengan gejala yang sama dengan sifat orang-orang munafiq yang digambarkan didalam sabda Rosululloh Saw: “Tanda-tanda munafiq itu ada tiga; jika bicara ia dusta, jika janji ia inkar, dan jika diberi amanat ia khianat” (H.R. Mutafaq alaih). Namun untuk penyakit pecah kepribadian ada lebihnya yaitu menjangkit pada masyarakat modern yang sesungguhnya ia tahu bahwa perbuatan yang senantiasa dilakukannya itu adalah sikap hipokrit atau bermuka dua (nifaq) yang sama sekali tidak sesuai dengan hati nurani, norma, etika, moralitas warga bangsa dan ajaran agama. Penyakit ini dimaklumi oleh dirinya dan memaksa orang lain untuk memaklumi perbuatannya.
Dengan demikian, attitude sebagian bangsa Indonesia perlu untuk dibangun kembali (rekonstruksi) mulai dari pembangunan kesadaran kolektif masyarakat. Proses penyadaran kepada kebaikan dan kebenaran universal disebut sebagai proses dakwah. Sudah saatnya masyarakat tidak hanya mempersepsi bahwa dakwah hanyalah ceramah di belakang mimbar, namun ruang lingkup dakwah sangat luas dan menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia untuk mewujudkan masyarakat madani. Masyarakat Madani adalah masyarakat yang berperadaban tinggi sarat dengan keteraturan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep Masyarakat Madani berasal dari perbincangan konsep civil society yang secara historis terdapat di eropa dengan pengertian masyarkat sipil yang diciptakan sebagai tatanan masyarakat yang egaliter, demokratis, toleran dan inklusif (Gellner; 1995).
Namun keberadaan masyarakat sipil diyakini sebgai hasil cipta akal budi manusia Eropa yang maju dan mendambakan peradaban yang menjunjung tinggi hak-hak dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian civil society madzhab Eropa ini bersifat antroposentris sebagai produk budaya. Sedangkan konsep yang lain disampaikan oleh Anwar Ibrahim civil society sebagai tatanan masyarakat madani yang nilai-nilai nya diambil dari tatanan masyarakat madinah ketika Nabi Muhammad saw. hijrah dari Hijaz (Mekkah) ke Yatsrib dan kemudian menamakannya Madinah al-Munawaroh berasal dari kata madaniyun artinya kota yang bertabur cahaya. Karena Nabi Muhammad sebagai nabi dan rosul dalam membangun Madinah oleh karenanya konsep civil society madzhab masyarakat madani bersifat teosentris atas bimbingan wahyu.
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama (Din Syamsuddin; 1999).
Proses rekonstruksi peradaban bangsa Indonesia, paling tidak diawali dari proses komunikasi yang baik dan senantiasa menggunakan metode yang baik serta pesan yang disebarluaskan merupakan pesan yang gandrung akan kebaikan. Adapun nilai kebaikan yang dimaksud adalah nilai unggul dari produk budaya dan doktrin wahyu (akhlaq al-karimah).


*)Dosen Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Bandung tinggal di Rancaekek.